Hanya Sebatas Melangkah Lebih Jauh
Hanya sebatas melangkah lebih jauh.
Mencari jawaban-jawaban yang bersembunyi di benak. Diawali dengan doa jalan
gontai, kucuran keringat, terengah-engah kaki perlahan melangkah. Masuk hutan,
yah ketik lagi Hutan. Bertemankan kabut kala itu ada matahari yang ingin sekali
menegurkan cahayanya dibalik rimbunnya vegetasi itu, yang seakan ingin
menolaknya. Nyanyian alam bak berubah menjadi sebuah melodi indah yang
menggetarkan jiwa. Naik turun bukit seperti sebuah penyesalan bahwa semuanya
butuh proses. Setapak demi setapak, jalan berkilo kilo meter dan bukti
keagungan itu semakin nyata. Perjalanan ini telah mengajarkanku bahwa tidak ada
yang patut disombongkan. Sadar jika manusia dalam kehidupan hanyalah bagian
kecil dari scenario Tuhan yang telah digariskan. Dan yang kemudian timbul di
benak hanyalah pengakuan betapa kecilnya manusia dengan melihat kedigdayaan
sang Maha Penguasa Dunia. Aku membayangkan, akulah remaja dengan penutup
kepala, ransel dan sedikit keberanian untuk menapaki kebesaranNya. Sembah syukur
seraya mengagungkan nama Ilahi.
Perjalanan ini telah
menghantarkanku kembali menapaki salahsatu puncak tertinggi Sulawesi yang
berada di kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Ya benar saja, gunung
Latimojong dengan puncak tertinggi puncak Rante Mario. Kali ini saya akan
mengunjungi puncak tertinggi kedua puncak dari ketujuh puncak yang ada di
pegunungan Latimojong. Tentu saja, perjalanan ini membutuhkan kaki yang kuat
melangkah dan fisik yang benar-benar prima. Bersama dengan rekan-rekan
sependakian yang sebelumnya belum pernah bertatap muka. Kini bergabung menjadi
sebuah team yang siap menapaki salahsatu puncak tertinggi pegunungan Latimojong
yaitu puncak Nene Mori.
Pagi itu, sebelum memulai
perjalanan ritual khusus tak lupa kita laksanakan bagaimana kunci mengingatkan
kembali bahwa pendakian ini harus menjadi tolak ukur pentingnya kerjasama,
kebersamaan, saling peduli, saling mengingatkan serta saling memberi motivasi.
Memikul berat menyeret langkah
untuk terus menapaki setapak demi setapak. Kami berjalan beriringan dengan nada
yang senada. Semangat yang mengalahkan kobaran api kaki terus melangkah
menembus kabut pagi yang dingin. Masuk hutan dengan pepohonan yang rindang
hanya sedikit cahaya matahari yang menembus celah-celah rindangnya hutan
heterogen tersebut. Perjalanan banyak mengajarkanku arti kesabaran dan sebuah
kebersamaan. Kebersamaan bersama teman yang awalnya tidak saling mengenal entah
mereka berasal dari sudut mana. Dan kini sudah saling seperti saudara sedarah.
Saya merasa inilah plural yang indah inilah perbedaan yang ramah.
Kabut masih tebal hawa dingin
menusuk-nusuk tubuh. Tak ada yang bisa kunikmati disini. Lantas, mengapa aku
berada di tempat ini. Aku tak butuhkan indah itu. Aku hanya butuh damai itu.
Karena apalagi yang lebih damai menggetetarkan dibanding izin Tuhan untuk
sekilas menyaksikannya. Pemikiran itulah yang sering terlintas dibenak. Tapi
sebaik-baiknya tempat bagiku adalah Rumah.
Menggapai puncak itu sulit. Sepanjang hari kita dihadang dengan trek yang
semakin menggila. Tetapi kami tetap selalu bersama, saling memberi semangat dan
membuka tangan untuk membantu teman lainnya. Dengan semangat yang tak akan
padam kami terus melanjutkan pendakian. Yang dibutuhkan pendaki adalah punggung
yang kokoh, lengan yang tangguh, akal yang cerdas serta hati yang lembut.
Sesekali hawa dingin seakan menusuk tubuh, membuat jalur pendakian menjelma
menjadi kebisuan.
Gumpalan kabut dan angin semakin
menjadi-jadi. Dan tentu saja ada persahabatan yang erat diantara itu semua. Kadang
kita menemukan teman, sahabat, saudara dan mungkin juga cinta di tempat yang
tidak kita duga. Tapi yang paling menyenangkan dalam sebuah perjalanan adalah
menemukan itu semua. Termasuk cinta apapun bentuknya. Puncak sudah dekat.
Jantung kembali berdetak. Dan aku sampai pada puncak dimana tugu tranggulasi
pertanda itulah puncak tertinggi kedua pegunungan Latimojong. Puncak Nene Mori
ya, benar saja puncak tertinggi kedua dengan ketinggian 3397 meter diatas
permukaan laut. Dengan kerapatan hutan yang masih benar-benar alami.
Mungkin banyak orang bertanya
kenapa kami senang naik gunung, yang ada cuma badan capek. Statement itulah
yang terkadang dilontarkan. Memang kami akui naik gunung capek itu sudah
menjadi makanan kami, tapi disisi lain kami berkata “Disanalah kami merasakan
ketenangan, disanalah kami mendapatkan apa yang kami inginkan”. Alamlah yang
membuat kami ada.
keren kaka
BalasHapusTulisannya bagus..
BalasHapusTulisannya bagus kaka..
BalasHapusSaya Hanya bisa berkata, Good adventuree, Kerenn
BalasHapus