Senin, 03 April 2017

Hanya Sebatas Melangkah Lebih Jauh

                
Hanya sebatas melangkah lebih jauh. Mencari jawaban-jawaban yang bersembunyi di benak. Diawali dengan doa jalan gontai, kucuran keringat, terengah-engah kaki perlahan melangkah. Masuk hutan, yah ketik lagi Hutan. Bertemankan kabut kala itu ada matahari yang ingin sekali menegurkan cahayanya dibalik rimbunnya vegetasi itu, yang seakan ingin menolaknya. Nyanyian alam bak berubah menjadi sebuah melodi indah yang menggetarkan jiwa. Naik turun bukit seperti sebuah penyesalan bahwa semuanya butuh proses. Setapak demi setapak, jalan berkilo kilo meter dan bukti keagungan itu semakin nyata. Perjalanan ini telah mengajarkanku bahwa tidak ada yang patut disombongkan. Sadar jika manusia dalam kehidupan hanyalah bagian kecil dari scenario Tuhan yang telah digariskan. Dan yang kemudian timbul di benak hanyalah pengakuan betapa kecilnya manusia dengan melihat kedigdayaan sang Maha Penguasa Dunia. Aku membayangkan, akulah remaja dengan penutup kepala, ransel dan sedikit keberanian untuk menapaki kebesaranNya. Sembah syukur seraya mengagungkan nama Ilahi.
Perjalanan ini telah menghantarkanku kembali menapaki salahsatu puncak tertinggi Sulawesi yang berada di kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Ya benar saja, gunung Latimojong dengan puncak tertinggi puncak Rante Mario. Kali ini saya akan mengunjungi puncak tertinggi kedua puncak dari ketujuh puncak yang ada di pegunungan Latimojong. Tentu saja, perjalanan ini membutuhkan kaki yang kuat melangkah dan fisik yang benar-benar prima. Bersama dengan rekan-rekan sependakian yang sebelumnya belum pernah bertatap muka. Kini bergabung menjadi sebuah team yang siap menapaki salahsatu puncak tertinggi pegunungan Latimojong yaitu puncak Nene Mori.
Pagi itu, sebelum memulai perjalanan ritual khusus tak lupa kita laksanakan bagaimana kunci mengingatkan kembali bahwa pendakian ini harus menjadi tolak ukur pentingnya kerjasama, kebersamaan, saling peduli, saling mengingatkan serta saling memberi motivasi.
Memikul berat menyeret langkah untuk terus menapaki setapak demi setapak. Kami berjalan beriringan dengan nada yang senada. Semangat yang mengalahkan kobaran api kaki terus melangkah menembus kabut pagi yang dingin. Masuk hutan dengan pepohonan yang rindang hanya sedikit cahaya matahari yang menembus celah-celah rindangnya hutan heterogen tersebut. Perjalanan banyak mengajarkanku arti kesabaran dan sebuah kebersamaan. Kebersamaan bersama teman yang awalnya tidak saling mengenal entah mereka berasal dari sudut mana. Dan kini sudah saling seperti saudara sedarah. Saya merasa inilah plural yang indah inilah perbedaan yang ramah.
Kabut masih tebal hawa dingin menusuk-nusuk tubuh. Tak ada yang bisa kunikmati disini. Lantas, mengapa aku berada di tempat ini. Aku tak butuhkan indah itu. Aku hanya butuh damai itu. Karena apalagi yang lebih damai menggetetarkan dibanding izin Tuhan untuk sekilas menyaksikannya. Pemikiran itulah yang sering terlintas dibenak. Tapi sebaik-baiknya tempat bagiku adalah Rumah.
Menggapai puncak itu sulit.  Sepanjang hari kita dihadang dengan trek yang semakin menggila. Tetapi kami tetap selalu bersama, saling memberi semangat dan membuka tangan untuk membantu teman lainnya. Dengan semangat yang tak akan padam kami terus melanjutkan pendakian. Yang dibutuhkan pendaki adalah punggung yang kokoh, lengan yang tangguh, akal yang cerdas serta hati yang lembut. Sesekali hawa dingin seakan menusuk tubuh, membuat jalur pendakian menjelma menjadi kebisuan.
Gumpalan kabut dan angin semakin menjadi-jadi. Dan tentu saja ada persahabatan yang erat diantara itu semua. Kadang kita menemukan teman, sahabat, saudara dan mungkin juga cinta di tempat yang tidak kita duga. Tapi yang paling menyenangkan dalam sebuah perjalanan adalah menemukan itu semua. Termasuk cinta apapun bentuknya. Puncak sudah dekat. Jantung kembali berdetak. Dan aku sampai pada puncak dimana tugu tranggulasi pertanda itulah puncak tertinggi kedua pegunungan Latimojong. Puncak Nene Mori ya, benar saja puncak tertinggi kedua dengan ketinggian 3397 meter diatas permukaan laut. Dengan kerapatan hutan yang masih benar-benar alami.





Mungkin banyak orang bertanya kenapa kami senang naik gunung, yang ada cuma badan capek. Statement itulah yang terkadang dilontarkan. Memang kami akui naik gunung capek itu sudah menjadi makanan kami, tapi disisi lain kami berkata “Disanalah kami merasakan ketenangan, disanalah kami mendapatkan apa yang kami inginkan”. Alamlah yang membuat kami ada.




4 komentar: