Selasa, 24 Januari 2017




Dan Kabut Menuntunku Untuk Menemukan Cinta di Ketinggian Tuhan
------------------------------------------------------------------------
Ketika saya berada dalam sebuah perjalanan, berada dalam sebuah dunia baru dengan keragaman bahasa yang berbeda. Saya merasa inilah plural yang indah , inilah perbedaan yang ramah. Lelah tetapi perjalanan telah menjelma  bak terapi dalam sauna. Saya menikmati petualangan ini hingga sebuah kalimat bersarang dibenak, bahwa perjalanan ini akan sampai pada hentinya. Perjalanan ini akan berakhir dan mengenal kata sudah. Namun, ketika saya berada dalam sebuah pendakian, memikul beban menyeret langkah, memandang jurang dan kelamnya hutan, merangkak, memanjat, bergantungan pada akar dan bebatuan, terjatuh hingga meringkuk melawan dingin yang menghujam. Saya merasa inilah jalan yang saya pilih. Saya tahu ini lelah, namun lelah itulah yang membuat saya betah. Saya tahu ini sakit namun sakit inilah yang membuat saya sehat. Saya tahu ini mahal namun mahal itulah yang mengajarkan saya kesederhanaan. Pendakian ini tak akan pernah berakhir hingga keterbatasanlah yang mengakhiri semua ini.
***
Pendakian kali ini menuju kegagahan gunung Latimojong puncak Rante Mario 3.478 meter di atas permukaan laut (mdpl). Memulai sebuah perjalanan dari kota Makassar menuju ke kabupaten Enrekang.  Tanggal 20 Desember 2016 dari kota Makassar, perjalanan dilanjutkan menuju ke kabupaten Bone, menginap semalam di kediaman rekan pendaki di daerah Palattae kecamatan Kahu. Malam di Bone saya menyempatkan untuk bertemu teman JJS Bone, dan mereka sangatlah antusias menyembut saya.. Terimah kasih untuk JJS Bone~
Keesokannya, perjalanan dilanjutkan kota Enrekang dan sebelum memasuki kabupaten Enrekang saya  dan rekan saya menunggu teman lain dan menyempatkan diri untuk bertemu dengan teman-teman JJS Sidrap. Mereka juga sangat antusias menyambut kedatangan kami. Terima kasih JJS Sidrap, indahnya kebersamaan ini. Pukul 23.00 akhirnya kami sudah berkumpul dan kita melanjutkan perjalanan menuju kota Enrekang, dari kota Enrekang kita lanjutkan menuju kecamatan Baraka. Baraka adalah tempat regist para pendaki. Perjalanan menuju desa terakhir dilanjutkan esoknya. Rabu, 21 Desember 2016 akhirnya tiba di desa Karangan desa terakhir. Sebelum pendakian kami regist ulang barang bawaan dan menuju basecamp yang tak lain adalah rumah pak kepala dusun yang sering dipanggil ambe’ dari kalangan pendaki yang cukup mengenalnya. Pendakian dimulai, berjumlah 9 pendaki dari berbagai latar belakang profesi, asal dan tentu saja karakter. Seperti biasa pengarahan singkat dari bapak kepala dusun, selalu menjadi ritual pembuka untuk mengingatkan kembali bahwa pendakian ini harus menjadi tolak ukur pentingnya kerjasama, kebersamaan, saling peduli, saling mengingatkan serta saling memberi motivasi. 
Dimulai dari basecamp kita berjalan beriringan. Diawal pendakian kita melintasi perkebunan penduduk khas daerah pegunungan. Namun yang berbeda kali ini, kita melakukan pendakian pada bulan dimana angin sedang kencang-kencangnya tapi itu tidak menutup kemungkinan untuk megoyahkan tekad kami untuk tetap berjalan. Jalan setapak, menjadi medan yang harus kami lewati. Tak berapa lama kami sampai di pos 1 yang merupakan masih area perkebunan masyarakat. Setelah beristirahat dan menikmati matahari terbenam kami melanjutkan perjalanan dan tibalah kami pada pintu rimba. Pintu rimba merupakan pintu gerbang pendakian yang merupakan batas hutan antara ladang dan kebun masyarakat setempat. Hutan ketik lagi, hutan. Kita berada di dalam hutan. Hutan heterogen, hutan tropis dengan rindangnya pepohonan. Hanya sedikit terlihat sinar bulan yang masuk diantara dedaunan dan batang pohon. Begitu gelap, begitu rimba. Saya tak terlalu lama menatap megahnya vegetasi ini karena pendakian terus dilakukan. Hanya sesekali saya menatap keatas, karena jalan yang saya lalui membutuhkan konsentrasi yang baik agar tak terpeleset. Setelah melalui medan yang cukup panjang sampailah di pos 2. Kami tidur dibawah batu besar tidak perlu mendirikan tenda karena kita aman dari terpaan hujan. 
POS 2


Tanggal 22 desember 2016 esoknya kami melanjutkan pendakian. Medan kali ini semakin menantang. Kita berpijak pada akar-akar pohon yang menjadi jalur pendakian. Mendaki, mendaki dan terus mendaki. Sesekali hawa dingin seakan menusuk tubuh, membuat jalur pendakian menjelma menjadi kebisuan. Kita terus melakukan pendakian. Sesekali berhenti untuk mengatur detak jantung yang hendak terpental. Mendaki bersama, saling menunggu dan tentu saja bercanda. Aku punya cokelat dia punya gula jawa, aku merasa penat diapun rasakan jua. Tak terasa kitapun sampai pada pos 3 yang trakkingnya lumayan menguras tenaga. Pos 3 berada dalam ketinggian 1.940 mdpl. Dari sini kita kembali melanjutkan perjalanan ke pos 4 dengan medan yang sama. Setelah menemuh perjalanan kurang dari 30 menit akhirnya kita tiba di pos 4 Buntu Lebu demikianlah nama dari pos tersebut. Setelah beristirahat yang cukup dan memulihkan tenaga lagi. Kami melanjutkan perjalan ke pos 5 waktu tempuh pos 4 pos 5 adalah 1 jam 45 menit. Dari pos 5 ini berupa daerah datar yang luas. Senja tak lama lagi datang kamipun mendirikan tenda. Kabut masih tebal hawa dingin menusuk-nusuk tubuh. Tak ada yang bisa kunikmati dsini. Lantas, mengapa aku berada di tempat ini. Aku tak butuhkan indah itu. Aku hanya butuh damai itu. Dan tempat ini, damai itu aku temukan.
Malam menjelang, begitu menawan karena duduk di sisi api unggung. Menatap bintang dan juga cahaya lampu. Aku kembali ke tenda, berbagi cerita dengan travelmateku yang ternyata super dan mudah mencairkan suasana. Ia banyak membantuku dalam pendakian ini. Senang bertemu denganmu kawan….
Jum’at 23 Desember 2016 ketika fajar belum tampak, kami melanjutkan perjalan kembali menuju puncak. Kami meninggalkan tenda disini, hanya membawa daypack dengan perlengkapan seperlunya. Jaket terpakai headlamp menyela. Kami mulai menggunakan otot paha dan tatap mata yang tajam. Angin menghembus. Kami terus berjalan hingga pagi menjelang. Perlahan, medan mulai terlihat karena sinar matahari menjadi penerang. Medan yang terus mendaki. Ada jurang-jurang besar yang menciutkan nyali bila terlalu lama menatapnya. Ada gumpalan awan seolah seksama melihatmu kepayahan. Dan tentu saja ada persahabatan erat diantara itu semua.
Sepanjang hari kita dihadang dengan trek yang semakin menggila. Tetapi kami tetap selalu bersama, saling member semangat, membuka tangan untuk membantu teman lainnya. Dengan semangat yang tak akan padam kami terus melanjutkan pendakian. Yang dibutuhkan pendaki adalah punggung yang kokoh, lengan yang tangguh, akal yang cerdas serta hati yang lembut.
Gumpalan kabut dan angin semakin menjadi-jadi. Dan tentu saja ada persahabatan yang erat diantara itu semua. Puncak sudah dekat. Jantung kembali berdetak. Dan aku sampai pada puncak dimana tugu tranggulasi pertanda itulah puncak tertinggi Sulawesi. Ada rindu semakin menggertak. Ada cinta semakin menghentak. Ada sebuah nama yang meleset pada benak.
Puncak gunung Latimojong berada pada ketinggian 3.478 mdpl. Terima kasih Tuhan aku akhirnya bisa berdiri disini. Ada begitu banyak pelajaran mahal tentang gunung tentu mereka yang berpikir dan menggunakan pikirannya.
Dan dialah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya.. sesungguhnya pada apa yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan (QS. Ar-Rad 13)
***
Pendakian berakhir, kami kembali menuruni gunung dengan trek yang sama. Saya hanya bisa menatap puncak gunung Latimojong dari kejauhan. Bahwa betapa gagahnya ia sendiri disana. Latimojong, keindahannya bukan pada saat kau berada pada puncaknya. Ia terasa indah saat kau telah pergi meninggalkannya. Saat kau buka kembali memori tentangnya.
Terima kasih, kepada teman-teman yang telah memberikan sekali lagi kesempatan berada bersama kalian dalam pendakian kali ini.