Dan Kabut Menuntunku
Untuk Menemukan Cinta di Ketinggian Tuhan
------------------------------------------------------------------------
Ketika saya berada dalam
sebuah perjalanan, berada dalam sebuah dunia baru dengan keragaman bahasa yang
berbeda. Saya merasa inilah plural yang indah , inilah perbedaan yang ramah.
Lelah tetapi perjalanan telah menjelma bak terapi dalam sauna. Saya
menikmati petualangan ini hingga sebuah kalimat bersarang dibenak, bahwa
perjalanan ini akan sampai pada hentinya. Perjalanan ini akan berakhir dan
mengenal kata sudah. Namun, ketika saya berada dalam sebuah pendakian, memikul
beban menyeret langkah, memandang jurang dan kelamnya hutan, merangkak,
memanjat, bergantungan pada akar dan bebatuan, terjatuh hingga meringkuk
melawan dingin yang menghujam. Saya merasa inilah jalan yang saya pilih. Saya
tahu ini lelah, namun lelah itulah yang membuat saya betah. Saya tahu ini sakit
namun sakit inilah yang membuat saya sehat. Saya tahu ini mahal namun mahal
itulah yang mengajarkan saya kesederhanaan. Pendakian ini tak akan pernah
berakhir hingga keterbatasanlah yang mengakhiri semua ini.
***
Pendakian kali ini
menuju kegagahan gunung Latimojong puncak Rante Mario 3.478 meter di atas
permukaan laut (mdpl). Memulai sebuah perjalanan dari kota Makassar menuju ke
kabupaten Enrekang. Tanggal 20 Desember 2016 dari kota Makassar,
perjalanan dilanjutkan menuju ke kabupaten Bone, menginap semalam di kediaman
rekan pendaki di daerah Palattae kecamatan Kahu. Malam di Bone saya
menyempatkan untuk bertemu teman JJS Bone, dan mereka sangatlah antusias
menyembut saya.. Terimah kasih untuk JJS Bone~
Keesokannya, perjalanan
dilanjutkan kota Enrekang dan sebelum memasuki kabupaten Enrekang saya
dan rekan saya menunggu teman lain dan menyempatkan diri untuk bertemu dengan
teman-teman JJS Sidrap. Mereka juga sangat antusias menyambut kedatangan kami.
Terima kasih JJS Sidrap, indahnya kebersamaan ini. Pukul 23.00 akhirnya kami
sudah berkumpul dan kita melanjutkan perjalanan menuju kota Enrekang, dari kota
Enrekang kita lanjutkan menuju kecamatan Baraka. Baraka adalah tempat regist
para pendaki. Perjalanan menuju desa terakhir dilanjutkan esoknya. Rabu, 21
Desember 2016 akhirnya tiba di desa Karangan desa terakhir. Sebelum pendakian
kami regist ulang barang bawaan dan menuju basecamp yang tak lain adalah rumah
pak kepala dusun yang sering dipanggil ambe’ dari kalangan pendaki yang cukup
mengenalnya. Pendakian dimulai, berjumlah 9 pendaki dari berbagai latar
belakang profesi, asal dan tentu saja karakter. Seperti biasa pengarahan
singkat dari bapak kepala dusun, selalu menjadi ritual pembuka untuk
mengingatkan kembali bahwa pendakian ini harus menjadi tolak ukur pentingnya
kerjasama, kebersamaan, saling peduli, saling mengingatkan serta saling memberi
motivasi.
Dimulai dari basecamp
kita berjalan beriringan. Diawal pendakian kita melintasi perkebunan penduduk
khas daerah pegunungan. Namun yang berbeda kali ini, kita melakukan pendakian
pada bulan dimana angin sedang kencang-kencangnya tapi itu tidak menutup
kemungkinan untuk megoyahkan tekad kami untuk tetap berjalan. Jalan setapak,
menjadi medan yang harus kami lewati. Tak berapa lama kami sampai di pos 1 yang
merupakan masih area perkebunan masyarakat. Setelah beristirahat dan menikmati
matahari terbenam kami melanjutkan perjalanan dan tibalah kami pada pintu
rimba. Pintu rimba merupakan pintu gerbang pendakian yang merupakan batas hutan
antara ladang dan kebun masyarakat setempat. Hutan ketik lagi, hutan. Kita
berada di dalam hutan. Hutan heterogen, hutan tropis dengan rindangnya
pepohonan. Hanya sedikit terlihat sinar bulan yang masuk diantara dedaunan dan
batang pohon. Begitu gelap, begitu rimba. Saya tak terlalu lama menatap
megahnya vegetasi ini karena pendakian terus dilakukan. Hanya sesekali saya
menatap keatas, karena jalan yang saya lalui membutuhkan konsentrasi yang baik
agar tak terpeleset. Setelah melalui medan yang cukup panjang sampailah di pos
2. Kami tidur dibawah batu besar tidak perlu mendirikan tenda karena kita aman
dari terpaan hujan.
![]() |
POS 2 |
Tanggal 22 desember 2016
esoknya kami melanjutkan pendakian. Medan kali ini semakin menantang. Kita
berpijak pada akar-akar pohon yang menjadi jalur pendakian. Mendaki, mendaki
dan terus mendaki. Sesekali hawa dingin seakan menusuk tubuh, membuat jalur
pendakian menjelma menjadi kebisuan. Kita terus melakukan pendakian. Sesekali
berhenti untuk mengatur detak jantung yang hendak terpental. Mendaki bersama,
saling menunggu dan tentu saja bercanda. Aku punya cokelat dia punya gula jawa,
aku merasa penat diapun rasakan jua. Tak terasa kitapun sampai pada pos 3 yang
trakkingnya lumayan menguras tenaga. Pos 3 berada dalam ketinggian 1.940 mdpl.
Dari sini kita kembali melanjutkan perjalanan ke pos 4 dengan medan yang sama.
Setelah menemuh perjalanan kurang dari 30 menit akhirnya kita tiba di pos 4
Buntu Lebu demikianlah nama dari pos tersebut. Setelah beristirahat yang cukup
dan memulihkan tenaga lagi. Kami melanjutkan perjalan ke pos 5 waktu tempuh pos
4 pos 5 adalah 1 jam 45 menit. Dari pos 5 ini berupa daerah datar yang luas.
Senja tak lama lagi datang kamipun mendirikan tenda. Kabut masih tebal hawa
dingin menusuk-nusuk tubuh. Tak ada yang bisa kunikmati dsini. Lantas, mengapa
aku berada di tempat ini. Aku tak butuhkan indah itu. Aku hanya butuh damai
itu. Dan tempat ini, damai itu aku temukan.
Malam menjelang, begitu
menawan karena duduk di sisi api unggung. Menatap bintang dan juga cahaya
lampu. Aku kembali ke tenda, berbagi cerita dengan travelmateku yang ternyata
super dan mudah mencairkan suasana. Ia banyak membantuku dalam pendakian ini.
Senang bertemu denganmu kawan….
Jum’at 23 Desember 2016
ketika fajar belum tampak, kami melanjutkan perjalan kembali menuju puncak.
Kami meninggalkan tenda disini, hanya membawa daypack dengan perlengkapan
seperlunya. Jaket terpakai headlamp menyela. Kami mulai menggunakan otot paha
dan tatap mata yang tajam. Angin menghembus. Kami terus berjalan hingga pagi
menjelang. Perlahan, medan mulai terlihat karena sinar matahari menjadi
penerang. Medan yang terus mendaki. Ada jurang-jurang besar yang menciutkan
nyali bila terlalu lama menatapnya. Ada gumpalan awan seolah seksama melihatmu
kepayahan. Dan tentu saja ada persahabatan erat diantara itu semua.
Sepanjang hari kita
dihadang dengan trek yang semakin menggila. Tetapi kami tetap selalu bersama,
saling member semangat, membuka tangan untuk membantu teman lainnya. Dengan
semangat yang tak akan padam kami terus melanjutkan pendakian. Yang dibutuhkan
pendaki adalah punggung yang kokoh, lengan yang tangguh, akal yang cerdas serta
hati yang lembut.
Gumpalan kabut dan angin
semakin menjadi-jadi. Dan tentu saja ada persahabatan yang erat diantara itu
semua. Puncak sudah dekat. Jantung kembali berdetak. Dan aku sampai pada puncak
dimana tugu tranggulasi pertanda itulah puncak tertinggi Sulawesi. Ada rindu
semakin menggertak. Ada cinta semakin menghentak. Ada sebuah nama yang meleset
pada benak.
Puncak gunung Latimojong
berada pada ketinggian 3.478 mdpl. Terima kasih Tuhan aku akhirnya bisa berdiri
disini. Ada begitu banyak pelajaran mahal tentang gunung tentu mereka yang
berpikir dan menggunakan pikirannya.
Dan dialah Tuhan yang
membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya..
sesungguhnya pada apa yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah)
bagi kaum yang memikirkan (QS. Ar-Rad 13)
***
Pendakian berakhir, kami
kembali menuruni gunung dengan trek yang sama. Saya hanya bisa menatap puncak
gunung Latimojong dari kejauhan. Bahwa betapa gagahnya ia sendiri disana.
Latimojong, keindahannya bukan pada saat kau berada pada puncaknya. Ia terasa
indah saat kau telah pergi meninggalkannya. Saat kau buka kembali memori
tentangnya.
Terima kasih, kepada
teman-teman yang telah memberikan sekali lagi kesempatan berada bersama kalian
dalam pendakian kali ini.